Pasang Iklan

KALIMANTAN BARAT DIANTARA JEPANG DAN INDONESIA


Peringatan Pembantaian Jepang di Rumah Melayu Kalimantan Barat di Pontianak.

Malam itu, 27 Juni 2012, suasana khidmat mewarnai setiap zikir dan doa yang dilantunkan bersama di Rumah Melayu Kalimantan Barat di Pontianak. Di sana ada haru yang mendesak dalam batin setiap bumiputra Borneo Barat. Ingatan tentang Jepang merebak, yang pada 68 tahun silam melakukan pembantaian massal terhadap satu generasi; leluhur-leluhur mereka.

Pontianak adalah negeri panas. Ia bermula dari peluru meriam yang ditembakkan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie pada 1771 Masehi. Peluru yang jatuh di antara tiga ruas persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak itu kemudian menjadi batas teritorial Pontianak. Dan Syarif kemudian menjadi pendiri sekaligus sultan pertama Kesultanan Pontianak yang berada di tepi barat Pulau Borneo atau Kalimantan.

Sejak berabad-abad silam, ada dua entitas bumiputra yang hidup berdampingan, beradab, dan harmonik di Borneo Barat. Mereka adalah Melayu dan Dayak, yang kemudian ditambah dengan Tionghoa (Cina) yang jauh hari sudah dianggap sebagai saudara tua.

Keberagaman yang ada ini tumbuh dan berkembang di alas identitas Pontianak sebagai negeri Melayu – yang merupakan kesultanan Melayu termuda pada zamannya di Kepulauan Melayu (the Malay Archipelago). Di bawah Kesultanan Pontianak, kemajuan pemerintahan dalam berbagai aspek berkembang dalam rezim masing-masing sultan. Pontianak berkembang menjadi pusat perdagangan, pemerintahan, dan peradaban di Borneo Barat. Dalam berbagai naskah sejarah, perjalanan panjang negara berbentuk kesultanan ini menunjukkan suatu peradaban yang di dalamnya termasuk peradaban intelektualitas, gagasan modernisasi, strategi perdagangan, pemerintahan, dan politik.

Di kemudian hari, banyak negara atau entitas lain yang mengadopsi gagasan-gagasan intelektual Pontianak. Indonesia, misalnya, yang mengadopsi kerangka pondasi pengadilan agamanya dari Mahkamah Syariah Kesultanan Pontianak (Sultan, Pahlawan dan Hakim, 2011, Henri Chambert-Loir).

Gagasan-gagasan semacam itu adalah bagian dari khazanah besar kebudayaan-sejarah Pontianak yang dapat terus digali berdasarkan data. Ia tak boleh dilupakan, seiring pernyataan ‘takkan melayu hilang di bumi’. Modernisasi di Pontianak sejatinya tak datang begitu saja, tetapi rangkaian dari apa yang sudah diperbuat oleh para pendahulu. Tujuh generasi sultan di Kesultanan Pontianak adalah cermin dari pemerintahan dan kedaulatan yang membangun peradaban.

Ihwal Sang Penggagas Negeri (Kilas Balik Sejarah)
Dalam periode yang panjang, bentuk negara Pontianak adalah kesultanan dengan sistem pemerintahan aristokrasi absolut Islam. Ini menegaskan identitas bahwa Pontianak adalah negeri Islam. Sebab, pancang pertama bangunan yang dialaskan di bandar negeri adalah tiang fondasi masjid.

Hari ini masjid itu bernama Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman. Itulah bangunan pertama di Pontianak. Letak masjid ini berdekatan dengan Istana Qadriyah, yang tak jauh dari simpang Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Di sebelah utara negeri Pontianak, terdapat Tugu Khatulistiwa yang berada tepat di garis lintang nol derajat bumi, yang juga berdekatan dengan makam para wali dan atau sultan-sultan Pontianak.

Syarif Abdurrahman Al-Qadrie adalah anak dari seorang pendakwah asal negeri Trim di Hadramaut-Yaman Selatan yang bernama Habib Husein Al-Qadrie. Habib Husein Al-Qadrie dan ketiga kawannya menyebar dakwah Islam di Kepulauan Melayu. Konon, dia adalah keturunan dari ahlul bait, yaitu darah terdekat dari Nabi Muhammad Rasulullah SAW.

Hal tersebut dapat dilihat dari zuriyat (silsilah) yang terbukti, mulai dari pasangan Khalifah Ali bin Abu Thalib dan Fatimah (putri Nabi Muhammad) yang memiliki anak bernama Hasan dan Husein, dan kemudian turun ke Ali Zainal Abidin, anak dari Husein bin Ali bin Abu Thalib. Garis keturunan ini berlanjut hingga ke Habib Husein Al-Qadrie, Syarif Abdurrahman Al-Qadrie, dan para keturunannya. Merekalah yang dikenal sebagai para wali.

Sejak Syarif Abdurrahman Al-Qadrie menemukan tanah khatulistiwa pada 1771 M, dia menjadikan tanah itu sebagai tempat pemukiman. Pada 1778 M, gelarnya sebagai Sultan ditabalkan di hadapan beberapa penguasa negeri di Kepulauan Melayu ini. Sultan Raja Haji, penguasa Kesultanan Riau-Lingga, misalnya, pun turut hadir. Begitu juga pemimpin dari sejumlah kerajaan, termasuk Matan, Sukadana, Kubu, Simpang, Landak, Mempawah, Sambas, Banjar, dan lainnya.

Pada masa itu, negara Kerajaan Belanda, melalui Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) atau Perusahaan Dagang Kerajaan Belanda untuk Hindia Timur, mencoba bekerjasama dengan kerajaan-kerajaan di Borneo Barat. Pada Juli 1779 M, perusahaan dagang itu mengirim Komisaris VOC, Willem Adriaan Palm, ke Pontianak untuk mendirikan perwakilan dagang dan bekerjasama dengan Kesultanan Pontianak dalam hal dagang, pemerintahan, modernisasi bangsa, dan konfederasi negara/kerajaan dengan negara Kerajaan Belanda.

Palm kemudian digantikan oleh Wolter Markus Stuart yang bertindak sebagai Resident van Borneo’s Wester Afdeling I (1779-1784 M) dengan kedudukan di Pontianak. Semula, Sultan Syarif Abdurrahman menolak tawaran kerjasama dengan negeri asing dari Eropa itu. Namun setelah utusan itu datang untuk kedua kalinya, Syarif menerima Belanda sebagai rekan persemakmuran dengan tangan terbuka.

Pada 1 Muharam 1223 H, atau 1808 M, Sultan Syarif Abdurrahman wafat. Dia dimakamkan di Batu Layang, Pontianak. Selanjutnya, Syarif Kasim Al-Qadrie (1808-1819) naik tahta menjadi Sultan Qadriyah Pontianak II menggantikan ayahnya. Di bawah kekuasaan Sultan Syarif Kasim, Kesultanan Pontianak semakin mempererat kerjasama dengan Kerajaan Belanda dan kemudian Kerajaan Inggris sejak 1811 M.

Setelah Sultan Syarif Kasim wafat pada 25 Februari 1819, Syarif Usman Al-Qadrie (1819-1855) naik tahta sebagai Sultan Pontianak III. Pada masa kekuasaan Sultan Syarif Usman, banyak kebijakan bermanfaat yang dikeluarkan olehnya, termasuk dengan meneruskan proyek pembangunan Masjid Jami’ pada 1821 M dan Istana Qadriyah pada 1855 M. Pada April 1855, Sultan Syarif Usman meletakkan jabatannya sebagai sultan Pontianak dan kemudian wafat pada 1860 M.

Anak tertua Sultan Syarif Usman, Syarif Hamid Al-Qadrie (1855 M-1872 M), kemudian dinobatkan sebagai Sultan Pontianak IV pada 12 April 1855. Dan ketika Sultan Syarif Hamid wafat pada 1872 M, putra tertuanya, Syarif Yusuf Al-Qadrie (1872 M-1895 M) naik tahta sebagai Sultan Qadriyah Pontianak V beberapa bulan setelah ayahandanya wafat. Sultan Syarif Yusuf dikenal sebagai satu-satunya sultan yang paling sedikit mencampuri urusan pemerintahan. Dia lebih kuat berpegangan dan berurusan pada aturan agama, sekaligus merangkap sebagai penyebar agama Islam. Ia adalah ulama besar yang dimiliki Pontianak, yang diketahui sempat menulis kitab suci Al-Qur’an dengan tangannya sendiri.

Zaman pemerintahan Sultan Syarif Yusuf berakhir pada 15 Maret 1895. Dia digantikan oleh putranya, Syarif Muhammad Al-Qadrie (1895 M-1944 M) yang dinobatkan sebagai Sultan Pontianak VI pada 6 Agustus 1895. Pada masa ini, hubungan kerjasama Kesultanan Pontianak dengan Belanda semakin erat dan kuat. Masa pemerintahan Sultan Syarif Muhammad merupakan masa pemerintahan terpanjang dalam sejarah Kesultanan Pontianak.

Sultan Syarif Muhammad sangat berperan dalam mendorong terjadinya perubahan (modernisasi) di Pontianak. Dalam bidang sosial dan kebudayaan, dia adalah orang yang pertama kali berpakaian kebesaran Eropa di samping pakaian Melayu, Telok Belange, sebagai pakaian resmi. Dia juga orang yang menyokong majunya bidang pendidikan serta kesehatan.

Kiri: Masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman pada 1948. Foto: Dokumentasi Nederlands Potomuseum, Kanan: Istana Qadriyah Kesultanan Pontianak.

Di sektor ekonomi, selain dengan negara Kerajaan Belanda, Sultan Syarif Muhammad juga menjalin perdagangan dengan banyak negara atau komunitas lain. Sebut saja Riau, Palembang, Batavia, Banten, Demak, Banjarmasin, Singapura, Johor, Malaka, Hongkong, serta India. Selain itu, dia juga mendorong masuknya modal swasta Eropa dan Cina, serta mendukung bangsa Melayu dan Cina mengembangkan perkebunan karet, kelapa, dan kopra serta industri minyak kelapa di Pontianak. Sementara dalam aspek politik, sultan memfasilitasi berdiri dan berkembangnya organisasi-organisasi politik, baik yang dilakukan oleh kerabat kesultanan maupun tokoh-tokoh masyarakat.

Di zaman pemerintahannya, Sultan Syarif Muhammad banyak berkunjung ke berbagai negeri. Pada Januari 1937, dia diundang ke negara Kerajaan Belanda dalam rangka pernikahan Ratu Juliana Louise Marie Wilhelmina van Oranje-Nassau dengan Bernhard zur Lippe Biesterfeld. Ratu Juliana adalah anak dari ratu Wilhelmina (ratu Kerajaan Belanda). Sultan Pontianak hadir bersama-sama dengan para sultan dari Kepulauan Melayu, seperti sultan Kutai, sultan Langkat, sultan Deli, sultan Ternate, dan sultan lainnya.

Era kekuasaan Sultan Syarif Muhammad redup seketika seiring kedatangan Jepang ke Pontianak pada 1942. Hadirnya bala tentara fasis Jepang, yang menjadi rekan dari fasis Jerman dalam hasratnya menguasai Asia dan Eropa, menjadi petaka bagi Kesultanan Pontianak yang dekat dengan Belanda dan Inggris (lihat Membaca Ulang Pahlawan Kita).

Pada 24 Januari 1944, karena dianggap memberontak dan bersekutu dengan Belanda, Jepang menghancurkan Kesultanan Pontianak. Tak hanya melakukan penangkapan-penangkapan, Jepang juga melakukan penyiksaan dan pembunuhan massal terhadap ribuan orang Pontianak. Pada 28 Juni 1944, Jepang menghabisi Sultan Syarif Muhammad beserta keluarga dan kerabat kesultanan, pemuka adat, cerdik pandai (ilmuwan), dan tokoh masyarakat Pontianak, pun para sultan lain dan masyarakat lain di Kalimantan Barat. Tragedi berdarah ini kemudian dikenal dengan sebutan ‘Peristiwa Mandor’.

Jenazah Sultan Syarif Muhammad baru ditemukan pada 1946 oleh putranya yang bernama Syarif Hamid Al-Qadrie. Syarif Hamid bisa selamat dari genosida itu karena tidak sedang berada di Pontianak. Saat itu dia menjadi tawanan perang Jepang di Batavia sejak 1942 dan bebas pada 1945. Kelak, Hamid merupakan sultan terakhir dari dinasti Kesultanan Pontianak.

Berakhirnya kekuasaan Sultan Syarif Muhammad karena Peristiwa Mandor itu menciptakan kekosongan pada pemerintahan Pontianak. Dalam kewajibannya sebagai putra mahkota, pun atas permintaan rakyat, Hamid kembali ke Pontianak dan ditabalkan menjadi sultan Pontianak VII (1945-1978) pada 29 Oktober 1945. Dia bergelar Sultan Syarif Hamid II, atau lebih dikenal dengan nama Sultan Hamid II.

Di bawah Sultan Hamid II ini pulalah Pontianak, dan Kalimantan Barat, bergabung dengan negara baru bernama Republik Indonesia Serikat. Pada negara baru itu, politisi ulung di Kepulauan Melayu ini juga dikenal sebagai presiden Negara Kalimantan Barat (Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat) pada 1947-1950. Tak hanya itu, Hamid juga yang merancang lambang negara baru tersebut berupa gambar elang rajawali garuda pancasila. Selain sebagai Ketua Perhimpunan Musyawarah Federal (Bijeenkomst voor Federaal Overleg, BFO) pada 1949, yang berisikan sebagian dari negara-negara di Kepulauan Melayu, dia kelak juga menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio di Kabinet Republik Indonesia Serikat.

Sultan Syarif Muhammad Al-Qadrie dan Peristiwa Mandor
68 tahun yang lalu (1944), Borneo Barat bersimbah darah oleh Jepang. Korban yang terbunuh mungkin dapat dikatakan sebagai yang paling besar persentasinya jika dibandingkan dengan jumlah penduduk pada masa itu di daerah lain. Banyak data yang menyebutkan jumlah korban terbunuh mencapai angka puluhan ribu manusia.

Menurut pengakuan Kiyotada Takahashi, Presiden Marutaka House Kogyo Co. Ltd, yang dulu pernah bertugas sebagai salah seorang opsir bala tentara Jepang di Kalimantan Barat, jumlah korban tersebut mencapai angka 21.037 orang. Kemudian disampaikan pula dari kesaksian Yamamoto, seorang Kepala Kempeitai di Borneo Barat, bahwa jumlah korban mencapai angka sekitar 50 ribu orang. (Peristiwa Mandor Berdarah, 2009, Syafaruddin Usman).

Surat Kabar Borneo Sinbun di Pontianak, 1 Juli 1944, memberitakan tentang dihukum matinya 48 tokoh yang disebut-sebut sebagai kepala-kepala komplotan yang sedang mempersiapkan rencana untuk menggerakkan perlawanan bawah tanah terhadap pasukan Jepang yang ada di Borneo Barat. Mereka beserta yang lainnya ditembak mati pada 28 Juni 1944 dengan tidak disebutkan dimana hukuman mati itu dilaksanakan dan dimana jenazah para korban dimakamkan.

Pinggiran Kota Mandor, sebuah kota kecil di Kabupaten Pontianak kini, yang terletak 88 kilometer dari Kota Pontianak, belakangan diketahui sebagai salah satu tempat dimana sebagian korban dikubur secara massal. Saat ini, di daerah tersebut terdapat monumen sejarah yang dinamakan Makam Mandor, yang merupakan penanda terhadap aneksasi pasukan pendudukan Jepang dan menjadi saksi jatuhnya banyak korban di Borneo Barat, antara 1942-1945. Tanggal 28 Juni pun diperingati sebagai hari berkabung untuk seluruh masyarakat Borneo Barat.

Relief Peristiwa Mandor di Mandor, Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat.

Fakta tragis ini tak saja menunjukkan kebrutalan Jepang, tetapi juga keberanian Sultan Syarif Muhammad Al-Qadrie dan para tokoh masyarakat, meski kemudian harus berkalang tanah. Dia memperjuangkan marwah Borneo Barat atas kedaulatan Federasi Borneo Barat, yang terdiri dari kerajaan-kerajaan Melayu di Borneo Barat.

Untuk menemukan jenazah ayahnya, Sultan Hamid II menginterogasi sisa-sisa perwira Jepang yang masih berada di Pontianak dan juga memburu kesaksian-kesaksian masyarakat. Saat itu, konon, jenazah sang ayah masih terbungkus rapi di dalam tanah, pun dengan jasadnya. Jenazah sultan pun kemudian diangkat dan dimakamkan kembali dengan upacara kebesaran di pemakaman keluarga Kesultanan Qadriyah Pontianak di Batu Layang.

Pada 27 Rajjab, atau 17 Juni 2012 lalu, masyarakat pun melangsungkan haul atas wafatnya Sultan Syarif Muhammad Al-Qadrie di Istana Qadriyah Pontianak. Menjadi syuhada adalah pilihan hidup Sultan Pontianak ke-VI itu. Peringatan peristiwa berdarah itu diperingati dalam sebuah kedukaan yang mendalam.

Pontianak hari ini bukan lagi Negeri Pontianak berdaulat yang terbangun oleh tangan para wali/ulama dan atau para sultan. Pontianak hari ini telah menjadi daerah dari negara Indonesia, yang gagasannya berasal dan datang dari tanah seberang. Bahkan, kini Pontianak hanya disebut sebagai ‘luar Jawa’. Dahulu Pontianak tak kenal Indonesia. Namun, sekarang bendera Indonesia, merah putih, yang berbeda sedikit dari bendera Belanda, merah putih biru, berkibar di tanah khatulistiwa. Menerabas bendera bulan bintang (berwarna Kuning dan Hijau), bendera asli negeri Pontianak.

Meski demikian, tanggung jawab membuka tabir sejarah tidak menjadi tanggung jawab otoritas sentral pemerintah Indonesia. Ia menjadi tanggung jawab anak negeri Pontianak, yang seharusnya membuka kembali sejarah tanah dan lumpur darimana ia berasal. Sebab, sudah banyak luka di Pontianak yang dilakukan oleh orang-orang luar. Selain diserbu oleh pekerja-pekerja dari luar yang ditempatkan oleh penguasa, Sultan Hamid II juga telah dijatuhi hukuman melalui segala macam konspirasi politik dan hukum.

Rumah, Kampung Halaman, dan Tanah Air
28 Juni (1944-2012) diperingati sebagai hari berkabung Peristiwa Mandor untuk seluruh masyarakat Borneo Barat, termasuk Pontianak. Namun, ada yang paradoks di sini. Negara Indonesia menginstruksikan masyarakat Borneo Barat untuk mengibarkan bendera merah putih sebagai tanda peringatan di hari tersebut. Padahal, Pontianak dan Borneo Barat pada hari itu belum bergabung dan menjadi Indonesia. Kalimantan barat memiliki kedaulatannya sebagai negara yang tegak berdiri sendiri.

Namun demikian, hal yang sesederhana itu, tapi krusial, tak dipahami oleh sejumlah pihak saat ini. Padahal, yang patut berkibar adalah bendera-bendera kesultanan-kesultanan atau negara Kalimantan Barat. Tak ada konteks yang mengaitkan secara mendasar kejadian itu dengan Indonesia. Sebab, dulu Borneo Barat tak mengenal Indonesia, pun karena Indonesia juga memang belum ada.

Konstelasi politik pada akhir 1940-an menjadi tumpuan titik pertama dalam korelasi keduanya: Kalimantan Barat dan Indonesia. Kedaulatan sebuah negara dalam bentuk apapun patut ditilik legalitas aspek politik dan tentu “the rule of law”. Namun, itu sebuah esensi yang harus dicari hari ini. Jelas prosesi kedaulatan identitas itu menjadi penting untuk mengetahui bahwa siapa kita hari ini dan dari mana kita berasal. Cerita umum yang diketahui tentang darimana asal Pontianak, banyak yang mengetahui. Namun, validitas data hasil dari “riset” patut diperdebatkan.

Kesultanan Pontianak dikenal sebagai sekutu negara Kerajaan Belanda. Perspektif sepihak berpendapat bahwa itu artinya ‘bekerjasama dengan penjajah’. Gambaran itu menurut sejumlah pihak hari ini merupakan hal yang tidak nasionalis. Namun, perlu diperdebatakan kembali paradigma tak mendasar semacam itu. Kepentingan sebuah negara dalam membangun kerjasama dengan asing atau siapapun, tentu tak berarti melepas kedaulatan faksi dan strategi wilayah.

Tuduhan ‘bekerjasama dengan penjajah’ adalah sepihak dan artifisial, dan lebih mengarah propaganda atas sekelumit kepentingan. Pernyataan itu harus diperjelas berasal dari perspektif siapa. “Usul menunjukkan asal”, kata orang Melayu. Sebab, dalam ingatan Pontianak, hal itu hanya bisa diucapkan oleh bala tentara Jepang, dan sekutunya, yang memang amat memusuhi Belanda. Lain halnya dengan dahulu, dimana siapapun dapat bekerjasama dengan pihak manapun yang juga berdaulat, untuk kemajuan bangsa dalam semua aspek yang ditentukan.

1949-an adalah sebuah titik balik sejarah dalam perjalanan Pontianak – Borneo Barat yang berdaulat ketika ia bergabung dengan Indonesia. Akan tetapi, patut juga diluruskan narasi mengenai cara-cara masuknya Indonesia di tanah Pontianak dan Borneo Barat.

1. Lambang Kesultanan Pontianak rezim Sultan Syarif Hamid Al-Qadrie/Sultan Hamid II (sultan ke-7); 2. Lambang Kesultanan Pontianak rezim Sultan Syarif Muhammad Al-Qadrie (sultan ke-6); 3. Bendera Kesultanan Pontianak (Bentuk: bulan dan bintang. Warna: kuning dan hijau). Gambar: Dokumentasi Istana Qadriyah, Kesultanan Pontianak.

Hari itu, setelah Peristiwa Mandor Berdarah tahun 1944, Borneo Barat kehilangan banyak kaum intelektualnya. Terbunuhnya para sultan, dokter-dokter, guru-guru, para cerdik pandai (ilmuwan), ulama-ulama, dan lainnya menyebabkan sistem pemerintahan Federasi Borneo Barat goyah tanpa penopang. Setelah sekutu berhasil memukul mundur Jepang di Kepulauan Melayu, Sultan Hamid II yang baru bebas dari tawanan Jepang segera kembali ke Pontianak.

Ketika menjadi sultan Pontianak karena menggantikan ayahnya yang gugur, Hamid berusaha membenahi kekacauan yang ada. Dia mulai mengumpulkan para putra mahkota sultan di Borneo Barat, dan pada 1946 membentuk sebuah federasi negara bernama Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) sebagai Daerah Otonom (negara yang tegak berdiri sendiri) yang terdiri dari tiga belas negara kerajaan/kesultanan dan tiga neo negara kerajaan. Dia kemudian menjadi kepala daerah istimewa itu sejak 1947 sampai 1950.

Ikatan Federasi di Borneo Barat itu juga memiliki hubungan persemakmuran dengan negara Kerajaan Belanda. Hamid juga membentuk Bijeenkomst Voor Federaal Overleg (BFO), atau Perhimpunan Musyawarah Federal, bersama sejumlah tokoh politik negara-negara atau daerah-daerah otonom tetangga dari Pulau Kalimantan, Sumatera, Jawa, Sulawesi, Maluku, Bali. Perhimpunan ini lahir dalam Pertemuan Musyawarah Federal di Bandung pada 15-18 Juli 1948.

Di Perhimpunan Musyawarah Federal, Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat sekaligus Ketua Perhimpunan Musyawarah Federal itu aktif dalam politik nasional Hindia Belanda. Ada gagasan lebih besar yang ingin diperjuangkannya, yaitu sebuah negara yang lebih besar dalam bentuk federal. Negara-negara yang ada kala itu di Kepulauan Melayu akan memperkuat basis persatuan ketika berada dalam sebuah bentuk negara baru.

Negara Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur, Negara Jawa Tengah, Negara Jawa Timur, Negara Pasundan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Banjar, Bangka, Belitung, Dayak Besar, dan banyak lainnya bertemu dalam momentum pembahasan persatuan bangsa. Tak ketinggalan negara Republik Indonesia yang basis negaranya berada di Yogyakarta.

Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949 meloloskan kepentingan para pemimpin negara-negara di Kepulauan Melayu ini. Ada dua pihak yang menyerahkan kedaulatannya pada negara baru bernama Republik Indonesia Serikat dalam Konferensi Meja Bundar itu, yakni negara Kerajaan Belanda dan negara Republik Indonesia-Yogyakarta.

Akan tetapi, setelah Repubik Indonesia Serikat berdiri, yang salah satunya ditandai dengan penyerahan pasukan dari negara-negara bagian kepada pasukan federal, negara Republik Indonesia-Yogyakarta melakukan perluasan diri. Negara-negara bagian lain dibubarkan dan dimasukkan ke dalam negara Republik Indonesia yang sebelumnya sederajat sebagai sesama negara bagian. Dan bentuk negara federalisme/persatuan pun dibubarkan dan diganti menjadi negara unitarisme/kesatuan. Dari negara Republik Indonesia Serikat menjadi negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam perspektif Pontianak, arogansi yang dianggap datang dari Yogyakarta ini sampai pula menerabas kedaulatan kekuasaan yang ada di Pontianak dan Borneo Barat. Pada 1950, Sultan Hamid II sebagai sultan yang sah dari Kesultanan Pontianak dan Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara oleh Menteri Pertahanan Republik Indonesia Serikat Sultan Hamengkubuwono IX atas izin Jaksa Agung Tirtawinata. Tuduhannya adalah hendak melakukan makar, dimana alasan tersebut dapat ditilik sebagai suatu konspirasi negara (lihat Sultan Hamid II, Meneroka Akar Perkara Makar).

“Pembentukan negara nasional, apakah dari sisi sejarah merupakan perkembangan dari negara menjadi bangsa atau dari bangsa menjadi negara, dibebani dengan kerumitan berbagai proses dan kemelekatan berbeda. Sebagaimana diamati, salah satu konsekuensi dari kerumitan ini adalah banyak negara nasional berisikan kemelekatan regional yang dideklarasikan atau bahkan oleh bangsa lain. Sekali lagi, hubungan teritorial dari bangsa secara budaya hanya relatif seragam,” tulis Steven Crosby dalam bukunya Nationalism (2009).

Negara barangkali secara bebas didefinisikan sebagai struktur yang, melalui institusi, mengaplikasikan kedaulatan atas wilayah dengan menggunakan hukum yang menghubungkan para individu dan komunitas di dalam wilayah tersebut satu sama lain sebagai anggota negara. Namun, apakah Pontianak-Borneo Barat memiliki sejarah koneksitas dengan pulau Jawa/Yogyakarta sejak dulu dalam hubungan kedaulatan kewilayahan? Jelas tidak. Barangkali hanya dalam perdagangan, dan lainnya. Hubungan legal dan politik dari negara Pontianak dan Borneo Barat secara analitikal jelas berbeda dengan faksi yang lainnya.

Negara Pontianak – Borneo Barat dahulu jelas memiliki kedaulatan wilayah atau yurisdiksi. Sebab, penerapan kedaulatan negara melibatkan penyebarluasan hukum di seluruh wilayah yang dikendalikan tersebut, karenanya mengikutkan berbagai wilayah ke dalam regulasi hukum negara. Selain itu, keefektifan pemerintahan tergantung pada standarisasi komunikasi, bahasa dan tulisan di seluruh wilayah di bawah otoritas negara.

Lapisan dari banyak lapisan kesadaran diri ialah rumah, kampung halaman, dan tanah air. Pontianak, serta Borneo Barat, memiliki semua relasi itu. Dan hari ini kedaulatan tersebut diterabas oleh bentuk baru Indonesia: Indonesia yang unitaris.


Source :
www.lenteratimur.com

PLEDOI SULTAN HAMID II PADA SIDANG MAHKAMAH AGUNG TAHUN 1953


Sultan Hamid II memasuki ruang persidangan, 1953. Sumber: Peristiwa Sultan Hamid II, Persadja (Persatuan Djaksa-djaksa), 1953.


Perjalanan kehidupan bernegara Indonesia tak pernah lepas dari konflik antar-faksi. Masing-masing pihak mencoba untuk berkuasa dan mendesakkan pahamnya dalam suatu susunan negara yang tunggal dan seragam.

Perseteruan antar-faksi ini, di antaranya, mewujud pada periode 1950-an. Di berbagai daerah muncul pergolakan yang menentang pemusatan kekuasaan. Banyak daerah bergejolak karena sumber daya alamnya dikuras dan dibawa keluar habis-habisan. Mengutip Audrey R. Kahin dan George McT Kahin (1997), pergolakan ini tak hanya bermotifkan pada alasan ekonomi, tetapi juga harga diri.

Pergolakan yang terjadi pada periode tersebut merupakan ekspresi kekecewaan atas kondisi yang dilahirkan dari suatu bentuk negara yang terpusat. Namun, di sisi lain, pergolakan juga berasal dari faksi-faksi yang ingin mendesakkan pahamnya dalam suatu bentuk negara yang sudah bersusun tunggal itu.

Meski demikian, pergolakan pada 1950-an itu bukanlah yang pertama. Genealoginya dapat dilihat pada pasca diserahkannya kedaulatan Kerajaan Belanda dan Negara Republik Indonesia kepada Republik Indonesia Serikat pada 27 Desember 1949. Saat itu, faksi-faksi yang berbentuk negara-negara dan daerah-daerah otonom bersepakat secara hukum untuk menciptakan negara dengan bentuk federal atau bondstaat. Akan tetapi, negara yang disepakati secara bersama-sama tersebut kemudian dibubarkan. Republik Indonesia Serikat diganti dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia atau eenheidsstaat yang seragam dan terpusat pada 17 Agustus 1950.

Pembubaran yang sekaligus peleburan seluruh negara-negara bagian dan daerah-daerah otonom kepada salah satu faksi, yakni Republik Indonesia, pun mendapat tentangan. Tindakan itu dinilai sebagai upaya meruntuhkan prinsip kesetaraan (equal) melalui pelebaran sayap kekuasaan dan perluasan wilayah salah satu faksi.

Nasib banyak wilayah komunitas pun kemudian menjadi dikuasai, bergantung, dan ditentukan oleh satu wilayah komunitas. Hanya saja, pihak federalis yang mencoba mempertahankan prinsip equal kemudian patah. Mereka yang melawan dituduh sebagai pemberontak.

Salah satu korban konflik politik pada 1950, dalam transisi perubahan negara serikat ke negara kesatuan, adalah Sultan Hamid II. Dia dituduh sebagai “dalang” makar/pemberontakan dari aksi Westerling di Bandung pada 23 Januari 1950, dan “niat” membunuh tiga orang Dewan Menteri Republik Indonesia Serikat pada 24 Januari 1950 yang telah dibatalkannya sebelum peristiwa berlangsung. Tuduhan perbuatan yang tak diketahuinya itu, dan tak terbukti di pengadilan (1953), kemudian menjadikannya ‘pesakitan’ dalam vonis selama sepuluh tahun penjara oleh pemerintahan otokratik Soekarno.

Sultan Hamid II adalah Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB), sebuah Daerah Otonom (1947-1950), yang juga Sultan ke-7 dari Kesultanan Pontianak (1945-1978). Dia jugalah yang merancang lambang negara Republik Indonesia Serikat: Elang Rajawali – Garuda Pancasila. Lambang tersebut dirancang ketika dia menjabat sebagai Menteri Negara Zonder Portofolio Republik Indonesia Serikat.

Pada 5 April 1950, Sultan Hamid II ditangkap oleh Menteri Pertahanan Republik Indonesia Serikat, Sultan Hamengku Buwono IX, atas perintah Jaksa Agung Republik Indonesia Serikat, Tirtawinata. Akan tetapi, pengadilan atas tuduhan “makar/pemberontakan” yang dikenakan kepadanya baru digelar tiga tahun kemudian, 25 Februari 1953. Saat dia berada di dalam penjara inilah bentuk negara berubah.

Kemudian, Jaksa Agung Negara Kesatuan Republik Indonesia, R. Soeprapto (yang menggantikan Jaksa Agung Republik Indonesia Serikat, Tirtawinata), menuntut Sultan Pontianak ini dengan hukuman 18 tahun penjara. Sementara itu, Mahkamah Agung Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan ketua Mr. Wirjono Prodjodikoro menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara dipotong masa tahanan (tiga tahun).

Akan tetapi, pasal-pasal yang dituduhkan kepada Sultan Hamid II, yang juga merupakan Ketua Bijeenkomst voor Federal Overleg (BFO) atau Majelis Permusyawaratan Negara-negara Federal di Kepulauan Melayu/Kepulauan Indian, tak terbukti di pengadilan. Fakta mengatakan bahwa dia tak bersalah secara hukum. Tak pelak, aroma politik dari pihak kontra federal lebih kentara ketimbang pertimbangan hukum.

Dalam kasus “makar/pemberontakan” yang dituduhkan kepadanya, Sultan Hamid II membantah melalui Nota Pembelaan (Pleidooi) yang dibuat dan dibacakannya sendiri di depan sidang pengadilan Mahkamah Agung Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 25 Maret 1953. Pleidoi ini terpisah dengan pleidoi yang juga dibuat oleh Pembela atau Kuasa Hukumnya, yakni Mr. Surjadi.

Pleidoi Sultan Hamid II ini menjadi sebuah naskah sejarah penting dalam menilik bagaimana proses perubahan negara Republik Indonesia Serikat (RIS) ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Berikut adalah Pleidoi Sultan Hamid II pada sidang Mahkamah Agung, 25 Maret 1953. Pleidoi ini ditampilkan secara utuh dari buku Peristiwa Sultan Hamid II oleh Persatuan Djaksa-djaksa (Persadja) (1953). Adapun ejaan dalam pleidoi ini telah diubah dari ejaan lama ke ejaan yang sudah disempurnakan (EYD).

——————————————————————

Saudara Ketua,

Perkenankanlah saya mulai pembelaan saya dengan mengucapkan sebanyak-banyak terima kasih disertai rasa hormat kepada Mahkamah Agung atas caranya Mahka­mah Agung memimpin pemeriksaan perkara saya ini yang menimbulkan suasana yang jernih selama berjalannya pemeriksaan.

Oleh karena rasa tanggung jawab yang sebesar-besarnya dan kesungguhan yang ditunjukkan oleh Mahkamah Agung selama pemeriksaan perkara ini berjalan, maka dari permulaan pada saya timbul rasa aman dan keyakinan, bahwa perkara saya ini ada pada tangan para hakim yang luhur budinya dan yang telah banyak sekali berpengalaman pula. Dan oleh karenanya buat selama-lamanya kesan yang sebaik-baiknya akan tetap tinggal pada saya, bagaimanapun juga hasil pemeriksaan ini.

Saudara Ketua,

Dari permulaan saya telah menyangkal, bahwa saya telah berbuat salah sebagai dituduhkan pada saya sub primair, subsidair, dan subsidair lagi. Saya hanya mengakui telah melakukan perbuatan tersebut dalam lebih subsidair lagi, dengan mengajukan hal-hal yang dapat membebaskan saya.

Untuk menjaga salah paham, dikemukakan di sini, bahwa apabila saya katakan bebas, ialah hanya dipandang dari sudut ilmu hukum pidana. Ditinjau dari sudut moril, saya sendirilah yang pertama-tama akan mengakui dosa saya.

Meskipun saya mengetahui, bahwa tak akan terjadi apa-apa atas perintah saya, saya rasa selama hidup akan saya sesalkan, bahwa saya telah sampai lupa begitu jauh hingga memerintahkan untuk membunuh tiga orang sesama manusia.

Saudara Ketua,

Pembelaan mengenai segi yuridis saya percayakan kepada pembela saya. Akan tetapi menurut keyakinan saya tidak mungkin untuk meninjau perkara ini hanya dari sudut juridis saja.

Perintah untuk menyerbu sidang Dewan Menteri dan untuk membunuh tiga pejabat tinggi itu hanya merupakan suatu reaksi belaka terhadap kejadian-kejadian dari luar yang mempengaruhi jiwa dan alam pikiran saya pada waktu itu. Oleh karena kejadian-kejadian tadi berhubungan erat dengan, bahkan timbul karena perkembangan politik dari sebelum dan sesudah penyerahan kedaulatan, perbuatan saya tadi hanya akan dapat dimengerti, apabila di-proyektir atas semua itu.

Dari sebab itu saya rasa perlu sekali, apabila saya di sini dengan secara singkat memberikan gambaran mengenai perkembangan politik dalam Negara kita dari mulai menyerahnya Jepang tanpa syarat hingga terjadi perbuatan yang sekarang dituduhkan kepada saya.

Saya akan mulai dengan bulan Agustus 1945. Dalam bulan ini saya dikeluarkan dari tawanan Jepang, sesudah ± 3,5 tahun menjadi tawanan perang. Saya waktu itu masih memangku jabatan opsir KNIL secara aktif. Sampai saat itu saya belum pernah memperhatikan soal-soal politik. Kecuali keadaan, bahwa saya sebagai opsir dilarang turut campur politik, perhatian saya sendiri hanya tertarik oleh soal-soal di lapangan kemiliteran dan teknik kemiliteran.

Baru sesudah saya keluar dari tawanan, saya mendengar tentang telah terjadinya pembunuhan secara besar-besaran yang dilakukan oleh Jepang di kalangan rakyat Kalimantan Barat. Saya mendengar, bahwa juga ayah saya dan semua saudara lelaki saya telah terbunuh. Dapatlah dimengerti, bahwa saya dengan sendirinya dan dengan senang hati menggunakan kesempatan yang diberikan kepada saya oleh Lt. G.G. van Mook untuk terbang ke Pontianak.

Atas permintaan rakyatlah, maka saya di dalam bulan Oktober 1945 dilantik sebagai Sultan ke-VII dari Pontianak. Dalam kedudukan saya sebagai kepala swapraja dengan langsung saya dapat berhubungan dengan rakyat. Hingga waktu itu saya hanya mendengar saja tentang adanya cita-cita untuk mencapai kemerdekaan. Akan tetapi sesudah hubungan langsung dengan rakyat Kalimantan Barat, mengertilah saya, bahwa juga di daerah saya cita-cita kemerdekaan itu memang telah meresap di hati sanubari rakyat.

Saudara Ketua,

Dengan demikian dapat dimengerti, bahwa juga dalam hati saya mulai menyala api kemerdekaan. Jika tidak demikian, saya bukan seorang manusia yang mempunyai harga diri dan terutama bukan seorang Indonesia.

Pada permulaan 1946 saya kembali ke Jakarta untuk rnengadakan pembicaraan dengan pemerintah pada waktu itu. Di samping itu besar pula hasrat saya untuk berjumpa dengan Perdana Menteri RI pada waktu itu, ialah Sutan Sjahrir, guna belajar kenal dengan beliau. Kehendak saya itu dapat terlaksana. Dan dari pembica­raan dengan beliau itu saya mendapat kesan yang sangat menyenangkan dan yang tak akan saya lupakan.

Ketika Tuan van Mook menawarkan kepada saya untuk mengikuti pembicaraan di Hoge Veluwe, dengan tak berpikir panjang tawaran itu saya terima dan pergilah saya.

Saudara Ketua,

Itulah tadi gambaran mulainya menyala api kemerdekaan dalam kalbu saya. Hasrat untuk mencapai kemerdekaan buat nusa dan bangsa, keinginan untuk mempunyai pemerintah sendiri yang berdaulat, makin lama makin besar.

Dalam pada itu dalam memperjuangkan kemerdekaan bagi nusa dan bangsa, timbullah pula keyakinan saya, bahwa bentuk federalisme itulah yang paling baik bagi negara kita. Bukan tempatnya di sini untuk menguraikan dengan panjang lebar alasan-alasan bagi keyakinan saya itu. Guna kepentingan perkara ini sudah cukup kiranya dengan mengemukakan keyakinan itu. Sebab baik secara langsung ataupun tidak, keyakinan itulah antara lain yang menyebabkan timbulnya perkara yang sekarang diperiksa ini.

Saudara Ketua,

Sesudah Konperensi Malino dan konperensi-konperensi yang diadakan sesudah itu, yang mengakibatkan terlahirnya beberapa negara, terbentuklah apa yang dinamakan Voorlopige Federale Regering, ialah pada tanggal 9 Maret 1948. Mungkin ada pentingnya, apabila di sini dinyatakan, bahwa saya telah menolak tawaran untuk turut serta dalam pemerintahan yang baru dibentuk itu. Pertimbangan saya ialah, bahwa saya tidak mau turut pemerintahan di Indonesia yang tidak berdaulat.

Dalam bulan Mei 1948 dipanggillah konperensi BFO. Konferensi ini sebenarnya hanya merupakan studieconferensi dengan tujuan mempelajari segala sesuatu yang berkenaan dengan penyerahan kedaulatan.

Maksud dan tujuan VFR ini mendapat rintangan dengan dibentuknya Bijeenkomst Federaal Overleg atas inisiatif negara Indonesia Timur. Maksud pembentukan BFO tidak lain daripada untuk mencari jalan semata-mata bagaimana kita dapat keluar dari kesulitan-kesulitan politik antara RI dan negeri Belanda yang kelihatannya sukar untuk dipecahkan. Tujuan BFO yang terpenting, ialah mempercepat penyerahan kedaulatan.

Saudara Ketua,

BFO telah banyak dicerca. Akan tetapi saya yakin, bahwa BFO merupakan salah satu faktor yang penting bagi penyerahan kedaulatan sebelum akhir tahun 1949. Untuk menggambarkan kedudukan BFO dalam perjuangan merebut kemerdekaan, marilah saya ulangi perkataan Dr. van Mook dalam bukunya Indonesie, tiederland en de Wereld, halaman 221:

“De delegatie van het BFO vond echter bij de nieuwe minister en bet nieuwe kabinet in Nederland reeds dadelijk zodanige instemming, dat op 16 Agustus zander verder overleg met de VFR ofde landvoogd zijn stehel werd aanvaard, Ook de daarop volgnde behandeling met bet complete BFO, dat na de kroningsfeesten naar tiederland overkwam, geschiedde met practised vrijwel volledige uitscbakeling van de Indonesische Regering, ook al bevond de landvoogd met een zevental secretirssen van zih torn eveneens in Den Haag.

“Na mijn overhaeste terugkeer in verband met decommunistiscbe opstand, welke in de Republiek op 19 September was uitgebrokrn, bleef de verhouding ongewijzigd en toen ik bij voortduring moest ervaren, dat VFR en landvoogd buiten de verdure voorbereiding van het interim-ontwerp gelaten warden en zelfs omterent de genomen beslissingen veel sbneller door de pers dan door enkele mmmiere stukken warden ingelicht, meende ik aan deze voor de positie de Vertegenwoordiger van de Kroon onwaardige toetstand een einde te moeten maken door op 11 Oktober met ingang van 1 November mijn onstlag te vragen.”

(Terjemahan: Delegasi BFO berpendapat untuk segera memperoleh persetujuan dari menteri dan kabinet yang baru di Belanda sehingga pada tanggal 16 Agustus tanpa perundingan lebih lanjut dengan VFR atau Wali Negara maka asal-usulnya akan langsung diterima. Juga penanganan lebih lanjut dari BFO secara lengkap yang akan dilakukan setelah peringatan hari besar Kerajaan Belanda tanpa mengikutsertakan pemerintah Indonesia seperti halnya yang sudah pernah dilakukan oleh Wali Negara dengan tujuh orang sekretarisnya di Den Haag.

Sesudah saya mengembalikan lagi kekuasaan saya sehubungan dengan pemberontakan komunis pada tanggal 19 September di Indonesia maka hubungan tetap berjalan dengan baik dan saya dapat mengambil pelajaran berharga bahwa VFR dan Wali Negara tidak tahu menahu mengenai permasalahannya dan dalam mengambil keputusan untuk menerangkan berbagai hal yang masih kabur kalah cepat dengan pers. Oleh sebab itu saya sebagai wakil dari ratu Belanda harus menyelesaikan keadaan yang penuh dengan ketidakpastian ini pada tanggal 11 Oktober oleh karena pada tanggal 1 Nopember saya sudah mengajukan permohonan untuk berhenti dari jabatan saya.)

Dari kenyataan terurai di atas sudah jelas kiranya, bahwa BFO itu tidak saja bukan ciptaan dari VFR, akan tetapi malahan merupakan salah satu faktor yang penting untuk perginya Dr. van Mook.

Saudara Ketua,

Saya kira, di sinilah tempatnya untuk menyinggung dengan sepatah dua patah perkataan keterangan Mr. Ide Anak Agung Gde Agung, yang dibacakan di sidang. Saya berbuat ini sebenarnya dengan sangat berkeberatan hati, karena beliau tidak hadir di sini untuk dapat membantah keterangan saya, di mana perlu. Akan tetapi, apa yang saya akan kemukakan itu kebenarannya akan dikuatkan oleh anggota-anggota BFO yang lainnya.

Maka adalah benar, bahwa pada ketika pembentukan BFO, yang didirikannya atas inisiatif Mr. Ide Anak Agung Gde Agung, timbul kerenggangan antara beliau dengan saya. Tetapi yang demikian itu, tidak oleh karena perselisihan paham politik. Yang menjadi sebab, ialah soal pengangkatan Ketua BFO. Dalam pemilihan Ide Anak Agung Gde Agung tak terpilih, yang dipilih orang yang saya calonkan, ialah Mr. Bahriun dari Sumatera Timur. Dan sesudah Mr. Bahriun meninggal dunia sayalah yang dipilih menjadi ketua.

Apa yang selanjutnya dimaksud oleh Mr. Ide Anak Agung Gde Agung dengan keterangannya, bahwa saya di bawah pengaruh Dr. Beel, saya tidak dapat mengertinya, dari sebab itu tak tahulah saya bagaimana saya harus membantahnya.

Akan tetapi harus saya sangkal sekeras-kerasnya dakwaan, bahwa saya dulu menaruh keberatan terhadap kembalinya pemimpin-pemimpin RI dari Bangka ke Jogja.

Sebagai bukti dari sebaliknya, dapatlah dibaca surat dari Dr. Beel kepada saya tanggal 1 Pebruari 1949 yang bunyinya sebagai berikut:

In aansluiting aan het door U met de Directeur van mijn Kabinet Hoogheid mede te delen, dat de Regering van Indonesie bereid is de Heren Soekarno c.s. in de gelegenheid te stellen in voile vrijheid op een nader vast te stellen plaats onderling van gedachten te wisselen.

De Regering is, zoali ik U reeds eerder mondeling mede heb gedeeld, eveneens bereid mede te werken tot het scheppen van een gelegenheid voor een vrije gedachtenwisseling tussen de afgevaardigden van de Bijeenkomst voor Federal Overleg, c.q. de BFO in zijn geheel enerzijds en de in de eerste alinea van deze brief bedoelde heren anderzijds, voor zover zij door U mochten zijn of warden uitgenodigd.

Zou dit overleg tot zodanige resultaten leiden, dat op korte termijn kan warden overgegaan tot de instelling ener Federate Interim Regering, zo zal het uit de aard der zaak mogelijk zijn het vraagstuk van de algehele bewegingsvrijheid van hen, die thans aan zekere beperkingen zijn onderwopen, te bezien in het licht van de alsdan heersende omstandigheden.

(Terjemahan: Seperti yang sudah disepakati antara anda dengan Direktur Kabinet kami yang terhormat, bahwa pemerintah Indonesia dalam hal ini diwakili oleh Tuan Soekarno dan kawan-kawannya menyatakan bersedia untuk berunding secara terbuka.

Mengenai tempat pelaksanaan perundingan itu akan ditentukan lebih lanjut. Seperti yang sudah kami sampaikan kepada anda secara lisan sebelumnya bahwa pemerintah kami bersedia untuk bertemu dan mengadakan perundingan dengan mengundang utusan-utusan dari pihak Negara Federal (BFO) dan Tuan-tuan yang sudah kami sebutkan namanya diatas.

Apabila dalam perundingan nanti dihasilkan sebagai keputusan maka dalam waktu singkat segera akan dibentuk Pemerintahan Federal Sementara. Hal ini dimaksud untuk memberikan kesempatan secara penuh kepada mereka untuk menyelesaikan semua permasalahan sehingga akan dapat tercipta situasi dan keadaan yang sepenuhnya dapat dikendalikan.)

Selanjutnya untuk melukiskan sikap saya terhadap pemimpin-pemimpin RI yang berada di Bangka, saya kemukakan hal sebagai berikut:

Serentak saya mendengar, bahwa terhadap isteri Presiden Soekarno ada perlakuan kurang baik dari pihak militer Belanda, ialah beliau sesudah ditawannya Bung Karno harus segera keluar dari istana, saya ajukan soal ini kepada Wakil Tinggi Mahkota dengan permintaan supaya akibat-akibat dari perlakuan yang tidak baik itu ditiadakan lagi. Dan perantaraan saya ini mendapat hasil yang menyenangkan.

Dan ketika yang paling indah dalam perjuangan politik saya, ialah pada saat saya di Pangkalpinang sebagai Ketua delegasi BFO sebagai orang yang pertama yang berjabat tangan dengan Presiden Soekarno sekeluar saya dari mobil.

Dengan lukisan-lukisan di atas saya rasa sudah cukup dibuktikan, bahwa keterangan Mr. Anak Agung itu tak dapat dipertahankan kebenarannya.

Saudara Ketua,

Sampailah saya sekarang kepada pembicaraan Konperensi Antar-Indonesia, yang diadakan di Jogja dari tanggal 19 s/d 23 Juli 1949 dan dari tanggal 31 Juli s/d 2 Agustus l949 di Jakarta.

Dalam pembicaraan di Bangka antara pemimpin-pemimpin RI dan delegasi BFO, didapat kata sepakat untuk dengan selekas-lekasnya mengadakan perundingan politik antara RI dan BFO, apabila pemimpin- pemimpin RI telah kembali di Jogja.

Permintaan Presiden Soekarno untuk memulai pembicaraan itu di Jogja dan kemudian, di mana perlu diteruskan di Jakarta, oleh BFO diterima dengan kegembiraan hati.

Saya rasa tak berlebih-lebihan, bila saya katakan, bahwa perundingan yang dimulai dengan kegembiraan hati, akan tetapi juga dengan sedikit ketegangan, kedua-dua kalinya berjalan dengan penuh keselarasan (in volledige harmonic) dan dengan mencapai kesepakatan yang sebulat-bulatnya.

Saudara Ketua,

Guna menggambarkan suasana pembicaraan-pembicaraan tadi, perkenankanlah saya mengutip beberapa passage dari pidato Presiden dan Wakil Presiden, pemimpin delegasi RI, yang oleh beliau masing-masing diucapkan dalam perundingan itu.

Saya mulai dengan kata sambutan Wakil Presiden pada pembukaan Konperensi Antar-Indonesia yang ke-2 (Permusyawaratan Antar-Indonesia hal. 39):

“Konperensi Inter-Indonesia bagian pertama di Jogjakarta berjalan dengan baik, dalam suasana saling mengerti, dan kita sudahi dengan rasa persaudaraan. Demikianlah, permusyawaratan antara kita sama kita itu mengembalikan kita ke dalam dunia perasaan: satu bangsa dan satu tanah air, dengan satu bahasa nasional.

Kita mendapat kata mufakat, bahwa sang saka “Merah-Putih” adalah simbol kehormatan bangsa Indonesia dan Indonesia Raya adalah lagu kebangsaan kita. Indonesia Merdeka ciptaan bangsa akan bernama “Republik Indonesia Serikat”, suatu negara demokrasi yang berbentuk federasi.”

Kemudian saya kutip dari pidato penutup Wakil Presiden:

“Pada rapat penutup ini saya dapat mengatakan dengan gembira, bahwa kami Delegasi Republik Indonesia merasa puas dengan hasil yang kita capai dalam waktu yang begitu pendek. Yang lebih menggembirakan sekali ialah, bahwa segala pembicaraan dilakukan dalam suasana persaudaraan dan bahwa rasa persaudaraan itu semakin lama semakin tebal.”

Dan pada akhirnya saya kutip dari pidato sambutan Presiden Soekarno pada pembukaan Konperensi Antar-Indonesia bagian pertama di Jogja (hal. 107).

“Saya sendiri amat bahagia, bahwa konperensi ini dapat berlangsung pada permulaannya di Ibu Kota Republik Indonesia dan di sinilah tempatnya saya mengucapkan terima kasih saya kepada BFO seluruhnya, kepada Sri Paduka Sultan Hamid, Ketua BFO khususnya, bahwa BFO beserta ketuanya menyetujui kompromi yang kami usulkan tempo hari, ialah agar supaya permulaan konperensi ini diadakan di Ibu Kota Republik Indonesia, dan bahagian kedua, mana kala masih ada hal-hal yang perlu dirundingkan terus menerus, diadakan di kota Jakarta.

Saya berbahagia bukan saja oleh karena Jogjakarta adalah Ibu Kota Republik, bukan saja oleh karena dengan diadakan bahagian pertama konperensi di Jogjakarta kami mendapat penghormatan besar, tetapi terutama sekali ialah, bahwa konperensi Antar-Indonesia ini, yang bermaksud bukan saja meletakkan jembatan di atas jurang yang memisahkan pihak Republik dan BFO, tetapi malahan sedapat mungkin menutup sama sekali jurang itu.”

Saudara Ketua,

Apakah ucapan pemimpin-pemimpin tadi hanya merupakan omong kosong belaka dan tak ada artinya sama sekali?

Pada waktu itu saya tidak percaya, bahwa memang demikian adanya dan sekarang pun saya belum percaya!

Suasana pembicaraan begitu menyenangkan, sehingga pada saya tidak pernah timbul perasaan, bahwa kita asing satu dengan lainnya. Sebaliknya, pada saya pada hari-hari itu timbul keyakinan bahwa di Jogjakarta telah digembleng persatuan, yang kokoh kuat, yang tak akan dapat retak oleh karena sentiment politik.

Saya mengikuti Konperensi Antar-Indonesia di Jogjakarta itu, kecuali sebagai Ketua Delegasi BFO, juga sebagai Ketua Panitia Kenegaraan dan Kemiliteran dari BFO. Dan suasana yang saya rasakan selama perundingan, ialah suasana: “Bagaimanakah caranya kita selekas-lekasnya dapat bersatu!”

Perundingan-perundingan ini, yang diadakan oleh dan antara bangsa Indonesia sendiri telah menyebabkan tercapainya beberapa persetujuan mengenai kenegaraan dan kemiliteran.

Mengenai kenegaraan, yang terpenting, ialah diakuinya oleh kedua belah pihak bahwa negara kita itu negara demokrasi yang berbentuk federasi.

Hasil perundingan ini kemudian tercantum di dalam UUD Sementara RIS, yang ditetapkan di Negara Belanda oleh delegasi RI dan delegasi BFO dan yang kemudian di-ratificeer oleh parlemen dari masing-masing negara bagian.

Tentang soal kemiliteran terdapat persesuaian paham, bahwa dalam pembentukan Angkatan Perang RIS, TNI akan merupakan intisarinya bersama-sama dengan anggota bangsa Indonesia dari KNIL, KL, dan lain-lain kesatuan dengan syarat-syarat yang akan ditentukan.

Saudara Ketua,

Apakah sekarang semua hasil-hasil pembicaraan-pembicaraan, dimana saya sendiri dengan secara aktif turut serta, termasuk pula UUD Sementara, harus dianggap sebagai “kertas sobekan” (vodjes papier) belaka, diadakan melulu dengan maksud untuk selekas-lekasnya meniadakan atau memutuskan segala persetujuan yang telah tercapai itu?

Tidak, bukan?

Dari sebab itu, saya memulai pekerjaan saya dengan penuh pengharapan dan penuh cita-cita untuk membantu supaya negara kita di dunia internasional mendapat kedudukan yang selaras dengan keadaannya. Menurut jumlah penduduknya negara kita di kalangan bangsa-bangsa menduduki tempat yang ke-6.

Saudara Ketua,

Segera sekembali saya di Indonesia, ialah sesudah penyerahan kedaulatan, terjadilah suatu peristiwa yang menimbulkan kekecewaan pada saya. Saya dapat kabar, bahwa dalam satu minggu akan dikirim ke Kalimantan Barat pasukan-pasukan TNI.

Saudara Ketua,

Perkenankanlah saya meninjau peristiwa itu lebih dalam sedikit. Yang demiki­an itu untuk menjaga jangan sampai timbul salah paham.

Segera sesudahnya Konperensi Antar-Indonesia, ialah setelah didapat kepastian, bahwa APRIS yang akan dibentuk itu, akan terdiri dari TNI sebagai intisarinya ditambah dengan kesatuan-kesatuan dari bekas KNIL, VB, dan lain-lain, di Ka­limantan Barat saya mulai berusaha supaya anggota-anggota KNIL bangsa Indone­sia di Kalimantan Barat dengan gembira masuk APRIS.

Sebelum penyerahan kedaulatan, di Kalimantan Barat saya telah siapkan untuk masuk APRIS satu kompi bekas KNIL serta pula satu kompi Dayak, yang telah mendapat latihan. Menurut pendapat saya, yang demikian itu akan memperkuat pasukan TNI, yang menurut hemat saya tentu akan dikirim ke Kalimantan Barat, sesudah penyerahan kedaulatan.

Kecuali dari itu, saya telah membikin program yang agak luas untuk menerima TNI, sedang rencana upacara penyerahan pasukan bekas KNIL dan penerimaannya oleh APRIS telah saya selesaikan pula.

Saudara Ketua,

Apabila diketahui, bagaimana hati saya selalu tertarik oleh kemiliteran, dapatlah digambarkan, bagaimana berdebar-debarnya hati saya sambil menunggu saat upacara itu yang akan dilakukan.

Dapatlah diraba-raba pula, bagaimana besar kekecewaan saya serenta men­dengar, bahwa di luar pengetahuan saya telah diputus untuk mengirimkan dengan begitu saja TNI ke Kalimantan Barat.

Adalah maksud saya untuk membicarakan dengan Menteri Pertahanan sekembali saya di Indonesia rencana dan skema saya, supaya pemasukan orang-orang bekas KNIL ke dalam APRIS berjalan dengan lancar dan cepat. Akan tetapi yang demikian itu sudah tidak perlu lagi, karena Staf Angkatan Perang rupanya sudah mempunyai rencana yang sama sekali berlainan.

Dengan sendirinya saya akui, bahwa Menteri Pertahananlah yang bertanggung jawab sepenuhnya akan segala hal mengenai angkatan perang. Untuk menempatkan pasukan APRIS di Kalimantan Barat beliau tidak perlu izin dari saya. Akan tetapi saya menjadi anggota kabinet juga dan di samping itu Kepala Daerah Ka­limantan Barat, yang lebih mengetahui keadaan di Kalimantan Barat dari pada siapapun juga, sekalipun de facto saya tidak memangku jabatan.

Tangsi-tangsi semua penuh dengan KNIL serta keluarganya. Oleh kebakaran dua kali yang besar di dalam tahun 1945 dan 1946, Pontianak telah banyak kehilangan rumah tempat tinggal. Dengan demikian tidak mungkin untuk dalam waktu yang begitu pendek, ialah hanya beberapa minggu menyediakan perumahan buat 1000 anggota tentara baru.

Kecuali dari itu, adalah pula perintah yang agak ganjil ialah bahwa Kalimantan Barat Kecuali menyediakan perumahan, harus pula menyediakan pembayarannya, makanannya, pakaiannya, dan lain-lain, dan segala sesuatu begitu saja dengan secara mendadak.

Dari pihak pimpinan tentara sama sekali tak nampak kehendak untuk dengan secara berunding memecahkan bersama-sama soal-soal yang timbul.

Apabila permintaan-permintaan yang tak kurang banyaknya itu tidak lekas dipenuhi, maka Dewan Pemerintah dengan tidak terus terang dicap tidak mau membantu, bahkan dituduh yang tidak-tidak.

Pada waktu pengoperan pemerintah di Banjarmasin, beratus-ratus, jika tidak beribu-ribu, orang yang datang menyatakan dirinya sebagai pahlawan gerilya.

Besar rasa hormat saya kepada pejuang kemerdekaan pada waktu revolusi. Oleh karena ketabahan mereka, Republik dapat mencapai apa yang sekarang tercapai itu. Akan tetapi Kalimantan Barat merupakan suatu daerah yang semenjak 1945 selalu aman, di mana jam malam tidak pernah dikenal.

Apakah sudah selayaknya suatu daerah yang sama sekali aman, di mana kewajiban tentara hanya terdiri dari pekerjaan garnisun dan patroli biasa, jadi pekerjaan yang terutama membutuhkan ketertiban dan disiplin, ditempatkan anggota-anggota tentara yang tidak biasa lagi akan disiplin atau yang belum membiasakan dirinya akan disiplin?

Segera sesudah saya mendengar tentang niatan mengirim TNI ke Kalimantan Barat, saya berusaha menjumpai Menteri Pertahanan guna membicarakannya de­ngan beliau. Sebagai soal pertama yang akan dibicarakan, ialah supaya dikirim kesatuan, yang sudah biasa akan pekerjaan garnisun.

Akan tetapi dengan menyesal saya tak dapat berhubungan dengan beliau ka­rena waktu itu beliau sedang sakit. Saya hanya dapat bicara dengan beliau beberapa menit di lapangan udara Kemayoran sebelum beliau berangkat ke Jogjakarta. Be­liau menyanggupkan untuk mengundurkan pengiriman tentara itu sampai beliau sembuh dari sakitnya untuk meninjau kembali soal itu.

Saudara Ketua,

Sekian dengan ringkas peristiwa penempatan TNI di Kalimantan Barat. Sekali lagi ditegaskan di sini, bahwa saya sama sekali tidak ada keberatan akan pengirim­an dan penempatan TNI di Kalimantan Barat, akan tetapi yang saya sesalkan ia­lah caranya, yang menyinggung perasaan.

Saudara Ketua,

Oleh karena saya toh sudah membicarakan soal ketentaraan, baiklah saya kupas di sini penjelasan lain soal di lapangan ketentaraan, yang juga jauh daripada memberi kepuasaan kepada saya.

Sebagai telah dikemukakan di atas, di dalam Konperensi Antar-Indonesia saya turut serta Kecuali sebagai Ketua Delegasi BFO, juga antara lain sebegai Ketua Panitia Ketentaraan.

Tidak perlu rasanya saya uraikan di sini bagaimana kedua delegasi dengan penuh perhatian dan ketegangan menunggu dimulainya pembicaraan.

Akan tetapi segera sesudah pembicaraan dimulai, ternyata, bahwa antara kedua delegasi timbul saling mengerti, yang tidak sedikit meredakan suasana. Kecuali dari itu, ternyata pula, bahwa tak ada soal-soal yang tak dapat dipecahkan.

Pihak BFO segera menyetujui, bahwa TNI akan merupakan intisari dari APRIS yang akan dibentuk. Di sini saya kutip bagian yang penting bagi perkara ini dari keputusan konperensi Antar-Indonesia babakan ke-2 mengenai ketentaraan (hal. 82):

“Dalam pembentukan Angkatan Perang RIS itu dipergunakan Angkatan Perang Republik Indonesia (TNI) sebagai intisari (kern) bersama-sama dengan bangsa Indonesia yang ada dalam KNIL, ML, KM, VB, Terr-Bat, bekas anggota KNIL dan lain-lain kesatuan dengan syarat-syarat yang akan ditentukan lebih lanjut.”

Pada akhir pembicaraan mengenai soal yang begitu delicaat itu, saya mendapat kesan, bahwa bukan saja pihak BFO, tetapi juga pihak RI merasa puas akan hasil-hasil yang tercapai.

Terdorong oleh hasil-hasil pembicaraan yang memuaskan itu, di Jakarta saya berusaha sekeras-kerasnya supaya sebanyak-banyak anggota KNIL bangsa Indonesia masuk ke dalam APRIS.

Saudara Ketua,

Bagi saya sebagai putera Indonesia dan sebagai militer tak ada keadaan yang paling sempurna daripada persatuan yang seerat-eratnya antara TNI dengan semangat perjuangannya dan KNIL dengan pengalamannya dan kecakapannya teknis.

Dan segala sesuatu tadi dimungkinkan, karena hasil-hasil dari Konperensi Antar-Indonesia, yang diadakan oleh dan antara bangsa Indonesia sendiri di dalam suasana yang penuh dengan keselarasan (in een sfeer van volkomen harmonie).

Saudara Ketua,

Apakah saya memang pandir (onnozel), oleh karena saya mendapat keyakinan yang mutlak, bahwa kita bangsa Indonesia juga dalam hal ini bersatu?

Apakah perkiraan sayalah yang salah, yang menimbulkan keyakinan, bahwa persetujuan yang dicapai oleh delegasi dari kedua belah pihak itu tidak hanya merupakan kertas sobekan?

Salahkah saya, bahwa saya menaruh kepercayaan 100% kepada bangsa sendiri?

Saudara Ketua,

Saya segera menyetujui, bahwa TNI merupakan intisari APRIS karena saya pandang, bahwa yang demikian itu memang sudah selayaknya. Akan tetapi seujung rambut pun tak pernah timbul pikiran akan adanya kemungkinan, bahwa APRIS hanya akan terdiri dari intisari semata-mata, sebagai yang praktis terjadi sekarang ini.

Timbullah pertanyaan pada hati saya: Apakah perlunya mengelabui BFO? Apakah di belakangnya ada rasa ketakutan, bahwa KNIL pada suatu saat akan merobohkan RI?

Apabila memang ada maksud demikian, tak akan saya kiranya kerja bersama dengan RI. Di dalam hal demikian saya akan mengumpulkan semua bekas KNIL untuk menyerang RI.

Saya tidak akan mengatakan, bahwa di dalam pergulatan itu saya akan ada dalam pihak yang menang, akan tetapi pasti ialah, bahwa RI oleh karenanya akan menghadapi kesulitan-kesulitan yang tak terhingga.

Berhubung dengan ini, saya ingat akan pernyataan pimpinan tentara kita mengenai pemberontakan Batalion 426. Dikatakan, bahwa untuk menaklukkan batalion yang berontak itu diperlukan delapan batalion. Kalau saya tidak salah yang memberontak tidak seluruh batalion, akan tetapi hanya dua kompi saja dari batalion itu, dan hingga sekarang sisa-sisa dari yang berontak itu masih juga berkeliaran.

Saudara Ketua,

Jadi sesudah Konperensi Antar-Indonesia, saya berkeyakinan teguh, bahwa kerja sama antara RI dan BFO di lapangan ketentaraan sudah sejelas-jelasnya, tak ada sesuatu apa pun yang dapat merintanginya.

Saya terus terang akui, bahwa dalam kabinet RIS yang akan dibentuk, saya mengharapkan portofolio Pertahanan. Akan tetapi serenta pada pembentukan pemerintah RIS saya mengetahui, bahwa dari pihak RI ada keberatan-keberatan yang tak mungkin dihindarkan terhadap pengangkatan saya sebagai Menteri Pertahanan, saya dapat mengerti dan menerima keberatan-keberatan itu.

Kemudian saya mengadakan pembicaraan dengan Sultan Hamengkubuwono IX yang akan diangkat menjadi Menteri Pertahanan. Pembicaraan ini mengenai pembentukan staf APRIS.

Hasil pembicaraan ini memuaskan kedua belah pihak.

Sultan Hamengkubwono menyanggupkan, bahwa dalam staf APRIS akan ditempatkan tiga orang opsir TNI dan tiga opsir bekas KNIL.

Saudara Ketua,

Perhatikanlah sekarang caranya pelaksanaan kesanggupan tadi.

Dengan kepercayaan sepenuhnya saya mengira bahwa Sri Sultan Jogja akan menunaikan kesanggupannya itu. Memang, olehnya dipenuhi kesanggupannya, akan tetapi bagaimana caranya?

Memang benar olehnya diangkat dalam staf beberapa bekas opsir KNIL akan tetapi, sedang opsir-opsir Angkatan Darat, Angkatan Udara dan Angkatan Laut RI dengan sekaligus diangkat menjadi chief staff dari masing-masing bagian angkatan perang, opsir-opsir KNIL hanya diberi tugas di belakang meja tulis, dengan tidak diserahi pertanggunganjawab komando.

Saudara Ketua,

Demikianlah akhirnya nasib hasil-hasil pembicaraan antara RI dan BFO mengenai kerjasama di lapangan ketentaraan yang semula oleh BFO dikirakan akan dikerjakan dengan persatuan yang seerat-eratnya.

Sekali lagi saya kemukakan di sini bahwa Sri Sultan Jogja telah memenuhi janjinya dengan sewajarnya (lettelijk), akan tetapi pada siapa yang mengikuti perkara saya ini dengan seksama, tak luput akan timbul pertanyaan: Bagaimanakah jika BFO bertindak sedemikian pula terhadap RI?

Saudara Ketua,

Tiap kali didengung-dengungkan, bahwa kita harus mempertimbangkan adanya sentiment. Saya setuju sepenuhnya akan hal ini.

Akan tetapi, kalau kita melihat segala sesuatu di dalam negara dan masyarakat kita pada dewasa ini, timbullah pertanyaan: Apakah sentiment itu hanya menjadi monopolinya RI? Dan apabila memang begitu, apakah yang demikian beralasan? Apakah orang lain tidak boleh mempunyai sentiment juga? Dan tidak perlukah sentiment ini diperhatikan dan dipertimbangkan pula?

Saya tidak akan menyangkal sedikitpun hak RI untuk memegang komando dari ketiga bagian Angkatan Perang.

Akan tetapi mengherankanlah, apabila opsir-opsir bekas KNIL yang tadinya dengan penuh antusiasme mau menggabungkan diri dalam APRIS akan merasa ragu-ragu terhadap diri saya, serenta mereka dalam APRIS hanya diserahi komando atas meja tulis?

Dan hingga kini rupanya sentiment masih meliputi suasana. Yang demikian itu dapat saya ambil sebagai kesimpulan dari pengangkatan opsir-opsir anggota untuk Mahkamah Tentara.

Dari nama-nama yang diangkat tak terdapat seorangpun bekas opsir KNIL dari BFO entoh saya berkeyakinan, bahwa di antara mereka tentu ada yang cakap dan berpengalaman untuk menjadi anggota Mahkamah Tentara Agung.

Apakah dengan keadaan demikian mungkin kerjasama yang seerat-eratnya antara opsir-opsir TNI dan opsir-opsir bekas KNIL? Adapun kepentingan negara menuntut persesuaian paham dan kerjasama antara kedua golongan itu!

Juga mengenai anggota rendahan dari KNIL, saya mengalami kesukaran-kesukaran yang dalam hakekatnya sama kesukaran-kesukaran yang dialami oleh opsir-opsir bekas KNIL.

Hasil anjuran saya supaya mereka masuk APRIS sama sekali tidak memuaskan. Yang mau masuk akhirnya hanya sedikit sekali. Dan yang demikian itu, tidak oleh karena mereka tidak ada minat untuk menggabungkan diri dalam APRIS, akan tetapi oleh karena kekecewaan yang dialami oleh mereka yang telah mengga­bungkan diri.

Salah satu akibat dari segala kekecewaan ialah antara lain peristiwa-peristiwa RMS dan Andi Azis, peristiwa-peristiwa mana sangat saya sesalkan.

Saudara Ketua,

Saya mempunyai keyakinan sepenuhnya, bahwa peristiwa-peristiwa tadi tak akan terjadi, apabil RI baik di lapangan politik, maupun di lapangan ketentaraan tidak melanggar dasar-dasar fair play.

Saudara Ketua,

Sampai sekian saya akhiri peninjauan saya mengenai kejadian-kejadian di la­pangan ketentaraan, yang menimbulkan rasa tidak puas dalam hati saya.

Marilah sekarang kita meninjau pelaksanaan hasil-hasil Konperensi Antar-Indonesia di lapangan politik dan ketatanegaraan.

Sebagai telah dikemukakan di atas, adalah merupakan persesuaian paham dan persetujuan yang bulat, bahwa negara kita negara demokrasi yang berbentuk federasi. Dan ide federasi ini di-koncenteer dalam UUD Sementara RIS, yang juga merupakan hasil pembicaraan antara kita dengan kita.

Juga dalam kalangan RI sendiri ide federalisme ini hidup. Yang menarik perhatian berhubung dengan ini, ialah salah satu pertimbangan dalam keputusan sela (interlocutoir vonnis) Mahkamah Agung Tentara RI tanggal 4 Maret 1948 di dalam perkara Peristiwa 3 Juli (hal. 11).

Sesudah mempertimbangkan sahnya Negara Republik Indonesia, Mahkamah Agung selanjutnya memberi pertimbangan yang bunyinya sebagai berikut:

“Linggarjati dan Renville tidak dapat mengubah keadaan itu dan souvereiniteit Belanda yang dimaksudkan dalam perjanjian itu tidak mempengaruhi kedudukan Republik Indonesia sebagai Negara dalam bentuk, sifat dan kekuasaan yang sekarang telah tercapai dengan perjuangan lebih kurang 2,5 tahun setelahnya proklamasi kemerdekaan kita 17-08-1945, sedang tujuannya ialah mendirikan Negara Indonesia Serikat yang berdaulat kedalam dan keluar selekas mungkin.”

Demikian bunyinya pertimbangan itu. Apabila kita mengetahui, bahwa pada waktu itu belum ada BFO, mau tidak mau harus diakui, bahwa federalisme itu bukan suatu ciptaan Belanda semata-mata.

Perlu dicatat rasanya di sini, bahwa saudara Ketua Mahkamah Agung, yang sekarang memegang pimpinan sidang ini, turut ambil bagian dalam mengambil keputusan tadi sebagai anggota Mahkamah Agung tentara tersebut. Juga jika saya tidak salah aliran federalisme di luar dan di dalam parlemen sekarang tampak dengan jelas.

Saudara Ketua,

Bagaimanakah sekarang pelaksanaan segala sesuatu tersebut?

Sekembali saya dari negeri Belanda, segera saya melihat tendens-tendens yang menuju ke arah penghapusan negara-negara bagian secara ilegal untuk melaksanakan negara kesatuan selekas-lekasnya.

Sebagai diketahui, dari dulu hingga sekarang saya seorang yang berkeyakinan federalisme. Akan tetapi di atasnya itu, saya seorang putera Indonesia dan apabila rakyat saya menghendaki negara kesatuan dan menyatakan kehendaknya itu da­lam suatu referendum atau pemilihan umum, sayalah yang pertama-tama akan tunduk kepada kehendak rakyat itu.

Saya sesalkan benar bahwa aliran-aliran yang menghendaki negara kesatuan itu mengambil jalan yang inkonstitusionil untuk menghapuskan negara-negara bagian. Akan tetapi yang lebih-lebih menyinggung perasaan saya ialah, bahwa saya merasa telah terperdaya oleh wakil-wakil bangsa saya sendiri. Apakah gunanya Konperensi Antar-Indonesia? Apakah arti perkataan-perkataan dan ucapan-ucapan yang muluk-muluk dari para pemimpin RI? Buat apakah RI me-ratificeer UUD Sementara RIS?

Apakah semua itu hanya merupakan sandiwara belaka?

Pertanyaan-pertanyaan serupa itulah yang selalu meliputi pikiran saya, serenta melihat perkembangan politik dan ketatanegaraan dalam negara kita, tidak lama setelah penyerahan kedaulatan.

Kecuali dari itu, oleh karena caranya bekerja dari aliran, yang menghendaki selekas mungkin dihapuskannya negara-negara bagian, pada saya timbul kekhawatiran kalau-kalau di negara kita akan timbul kekacauan yang tak terhingga. Dalam sidang Mahkamah Agung saya mendengar celaan, karena saya, katanya tak turut serta dalam usaha untuk mencegah atau mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh pemerintah.

Akan tetapi, usaha apa yang harus saya jalankan sebagai Menteri Negara, yang tak mempunyai tugas yang tertentu. Sekali-kali saya mau turut campur un­tuk memecahkan soal ketentaraan dengan sebaik-baiknya, yang demikian itu ti­dak dapat penghargaan, bahkan dikatakan, bahwa saya usah turut campur dalam urusan orang lain.

Tidak satu kali saja, akan tetapi berkali-kali saya mempersoalkan keadaan da­lam negeri dengan kawan-kawan menteri negara lainnya.

Apakah yang harus saya kerjakan? Tindakan apakah yang saya dapat ambil?

Sebagai menteri negara saya hanya diserahi tugas menyiapkan gedung parlemen dan membikin rencana buat lambang negara. Sampai saya ditangkap dan kemudian ditahan tak ada lain tugas saya!

Dengan terus terang saya dapat mengatakan di sini, bahwa saya sebagai men­teri negara makan gaji buta sebesar Rp. 1.000 sebulan.

Ada pula pekerjaan saya yang dengan kemauan saya sendiri saya kerjakan, ialah mengatur (inrichten) rumah-rumah menteri-menteri. Meskipun Bung Hatta menyatakan keberatannya, bahwa saya mengerjakan itu, akan tetapi pekerjaan saya teruskan. Saya toh harus bekerja buat Rp. 1.000 sebulan itu!

Saudara Ketua,

Dengan gambaran kedudukan dan tugas saya sebagai menteri negara di atas, sekali lagi saya bertanya, Berdaya apakah saya untuk turut serta mengatasi kesukaran- kesukaran dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh negara dan pemerintah?

Saudara Ketua,

Dalam pemeriksaan telah saya jelaskan, saya merasa putus asa karena keadaan di dalam negeri.

Menurut pandangan saya waktu itu, masyarakat kita diancam oleh 4 bahaya yang maha besar.

Pertama saya kemukakan bahaya kekacauan dalam lapangan ekonomi dan bahaya lainnya sebagai akibat dari itu. Dan saya sangsikan apakah perekenomian sekarang ada lebih baik daripada waktu saya belum ditangkap.

Soal kedua ialah soal keamanan. Hingga kini soal ini masih belum dapat dipecahkan juga. Kalau saya tidak salah, belum lama ini dalam parlemen soal ini menjadikan salah satu acara pembicaraan.

Hal ketiga yang saya ajukan, ialah soal komunisme. Menurut keyakinan saya, bahaya komunisme ini bukan bahaya impian, akan tetapi bahaya yang sangat riil. Mungkin saya dalam hal ini salah raba, akan tetapi di dalam hal demikian bukan saya saja yang salah raba. Bukankah pada tanggal 17 Agustus 1951 oleh pemerintah dilakukan penangkapan secara besar-besaran?

Soal yang keempat ialah mengenai pimpinan tentara dan hal-hal yang berhubungan dengan itu. Kalau saya tidak salah, beberapa bulan yang lalu terdapat tanda-tanda yang menunjukkan, bahwa dalam pimpinan tentara ada hal-hal yang tidak sebagaimana mestinya.

Alangkah baiknya, apabila sehabis tiga tahun ini diadakan balans untuk melihat di mana saya ada salah raba.

Saudara Ketua, demikianlah keadaannya, ketika saya pada pertengahan bulan Januari 1950 pergi ke Pontianak. Di sanalah saya mengetahui adanya hasutan-hasutan terhadap diri saya, yang dilakukan oleh aliran-aliran yang menghendaki dihapuskannya negara-negara bagian. Apa yang saya telah dengar mengenai lain-lain negara bagian, saya rasakan sendiri di daerah saya.

Dapatlah dimengerti bagaimana perasaan saya pada ketika itu. Apakah yang saya telah perbuat dalam perjuangan kemerdekaan, yang menyebabkan saya diperlakukan bagaikan sampah? Bahu-membahu dengan RI saya telah turut serta di da­lam perjuangan untuk mendapat hasil yang sebesar-besarnya. Dan saya dapatnya membantu itu, justru oleh karena ada backing dari daerah saya. Akan tetapi sekarang daerah saya dihasut-hasut terhadap saya. Dan bantuan apakah yang saya dapat dari RI? Manakah Konperensi Antar-Indonesia? Manakah UUD Sementara? Manakah ucapan-ucapan yang muluk-muluk dari para pemimpin RI?

Pendek kata, pengalaman saya di Pontianak itu menyebabkan timbulnya rasa amarah, jengkel dan lain-lain. Dengan diliputi perasaan-perasaan inilah saya kembali ke Jakarta dan ingatlah saya akan tawaran Westerling yang dulu telah saya tolak itu.

Dengan tak dipikir lebih panjang, saya minta datangnya Westerling ke Jakarta. Serenta saya mendengar daripadanya, bahwa tawarannya dulu itu masih berlaku, saya menyatakan kesanggupan saya untuk memegang oppercommando dari pasukannya, asal saja Westerling memenuhi dulu beberapa syarat yang saya ajukan. Sebagai telah dikemukakan dalam sidang, syarat-syarat itu terutama mengenai besarnya pasukan, persenjataan, dislocatie, keuangan, dan kekuasaan oppercommando.

Akan tetapi sampai saya ditangkap, Westerling belum sama sekali memenuhi syarat-syarat yang saya ajukan itu untuk dapat menerima oppercommando.

Saudara Ketua,

Dari pemeriksaan, yang serba teliti, yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dapat dibuktikan, bahwa saya tidak lebih mengetahui gerakan Westerling daripada yang lain-lainnya. Saya sama sekali tidak mengetahui apakah Westerling itu betul-betul mempunyai tentara atau tidak. Akan tetapi dari kenyataan, bahwa yang melakukan penyerbuan di Bandung itu hanya terdiri dari kesatuan dari KNIL dan VB Negara Pasundan yang tidak begitu banyak orangnya, dapat diambil kesimpulan bahwa Angkatan Perang Ratu Adil itu hanya ada dalam fantasinya Wes­terling sendiri. Mungkin inilah sebabnya ia tak dapat memenuhi syarat-syarat yang saya ajukan itu.

Akan tetapi terlepas dari soal ada atau tidak adanya APRA itu, dari keterangan Najoan dan pula dari keterangan Burger yang dibacakan di sidang, sudah jelas kiranya, bahwa saya sama sekali tidak turut campur dalam serangan di Bandung.

Perkataan-perkataan yang saya gunakan untuk mencela Westerling oleh karena serangannya di Bandung itu begitu pedas dan kasar, sehingga Mahkamah Agung menganggap bijaksana, apabila perkataan-perkataan tidak diulangi di sidang oleh saksi Najoan.

Apakah Westerling akan menerima celaan yang sehebat itu, apabila sayalah yang memerintahkan serangan itu? Perkataan-perkataan saya cukup mengandung hinaan- hinaan bagi seorang laki-laki, apalagi seorang opsir, sehingga tak akan dapat diterima, bahwa Westerling sama sekali tak menimbulkan reaksi, kalau memang ia tidak salah.

Saudara Ketua,

Sampailah saya sekarang kepada perintah yang saya berikan kepada Westerling pada tanggal 24 Januari 1950.

Sebagai saya telah uraikan di atas, perbuatan saya itu hanya merupakan suatu reaksi dari kejadian-kejadian dari luar yang memberi tekanan yang sehebat-hebatnya kepada jiwa dan pikiran saya.

Keadaan di luar negeri tidak memuaskan, bahkan membahayakan. Menurut berita- berita yang saya terima, di mana-mana ada bahaya timbulnya kekacauan di segala lapangan dalam masyarakat kita. Pemerintah negara-negara bagian dilumpuhkan oleh karena masih tetap dipertahankannya, sekalipun tidak resmi, “schaduw bestuur” di masing-masing daerah atau oleh karena adanya intimidasi terhadap pegawai-pegawainya ataupun oleh karena hebatnya pertentangan antara “co” dan “non”.

Tindakan-tindakan dari pemerintah untuk mengatasi kesulitan-kesulitan tadi menurut pandangan saya tidak ada atau hanya sedikit sekali.

Kecuali dari itu, sebagai saya telah katakan di atas, saya merasa diperdaya dan dicedera oleh pemimpin-pemimpin saya sendiri, hal mana sangat menyinggung perasaan saya.

Sebagai pemimpin-pemimpin RI yang memelopori perjuangan, mereka saya hargai dan hormati setinggi-tingginya. Saya menaruh kepercayaan sepenuhnya, bahwa apa yang mereka katakan dan janjikan, juga akan dipegang seteguh-teguhnya oleh mereka.

Akan tetapi bagaimana dalam kenyataannya?

Antar-Indonesia, UUD Sementara, kesanggupan-kesanggupan dan janji-janji dipandang sepi belaka, seolah-olah tidak ada. UUD Sementara RIS boleh dikatakan belum kering tintanya sudah dilempar dalam keranjang kotoran, seolah-olah semua itu hanya merupakan kertas sobekan saja. Dan apakah yang diperbuat oleh kabinet untuk mencegah segala sesuatu itu? Sama sekali tidak ada.

Di samping itu semua, yang membikin meluap saya, ialah apa yang saya alami sendiri di Pontianak ketika saya pada pertengahan bulan Januari 1950 mengunjungi daerah saya. Oleh aliran-aliran yang hendak menghapuskan negara-negara bagian rakyat dihasut terhadap diri saya dengan maksud supaya mereka benci kepada saya dan tak lagi menghendaki saya.

Saudara Ketua,

Dapatkah orang melukiskan rasa pedih hati saya? Sudah ketujuh turunan saya berada di Kalimantan Barat. Nenek moyang saya boleh dikatakan menjadi pengalas (grondlegger) daerah itu. Sejarah daerah dan rakyatnya sukar untuk dipisah-pisahkan dari sejarah dan riwayat kaum saya. Saya dilahirkan dan menjadi besar di tengah-tengah mereka.

Sekarang mereka dihasut dengan maksud untuk mengusir saya. Saya tak berdaya untuk berbuat sesuatu apa.

Saudara Ketua,

Rasa pedih dan sedih membalik menjadi rasa pegal dan cemas, amarah timbul dalam hati saya. Dengan keadaan demikian dalam hati sanubari kembalilah saya ke Jakarta. Pikiran saya diliputi oleh awan yang gelap.

Dalam keadaan yang demikianlah saya menyatakan kesanggupan saya kepada Westerling untuk memegang oppercommando, apabila Westerling memenuhi syarat-syarat sebagai yang telah saya uraikan di atas.

Dengan pikiran yang tak dapat dipandang rasionil pula saya memerintahkan penyerbuan sidang Dewan Menteri dan pembunuhan tiga pejabat tinggi itu.

Percayalah, bahwa pikiran penyerbuan itu timbul pada ketika pembicaraan dengan Westerling pada tanggal 24 Januari 1950 siang. Sebelumnya sama sekali tak ada maksud untuk melakukan penyerbuan itu. Kebenaran keterangan saya ini dapat dinyatakan dengan tiadanya persiapan sama sekali untuk melakukannya, sebagai juga diterangkan oleh saksi Najoan.

Akan tetapi syukur alhamdulillah, serenta saya agak tenang, ialah sesudah mandi, insyaflah saya akan perbuatan saya yang tidak patut itu. Maka oleh karena itu saya mengambil putusan untuk mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menjaga jangan sampai perintah saya itu dijalankan. Tindakan-tindakan apa yang akan saya ambil itu telah saya uraikan dalam sidang Mahkamah Agung. Berhubung dengan itu, dalam sidang-sidang Mahkamah Agung tak pernah saya merasa gelisah (van mijn stuk gebracht) kecuali waktu saksi Mr. Wahab, Sekretaris Dewan Menteri didengar sebagai saksi mengenai waktu berakhirnya sidang kabinet pada tanggal 24 Januari 1950.

Di sini saya menyatakan dengan tegas, bahwa saya mengenal Mr. Wahab sebagai orang yang jujur dan integer. Dari sebab itu saya yakin bahwa keterangan beliau yang bertentangan dengan keterangan saya itu diberikan dengan kejujuran yang mutlak (absoluut ter goeder trouw).

Mengenai soal waktu berakhirnya sidang kabinet tadi selanjutnya saya serahkan kepada pembela saya untuk mengupasnya.

Saya hanya mau menyatakan, bahwa hingga kini saya berkeyakinan, bahwa sidang itu telah berakhir sebelum jam 19.00.

Saudara Ketua,

Meskipun perintah saya tadi tak terjadi apa-apa, sekalipun saya secara juridis tak berasa salah, akan tetapi secara moril dosa saya itu saya rasakan seberat-beratnya. Seumur hidup tak akan saya lupakan.

Saudara Ketua,

Dengan penuh perhatian saya telah mendengarkan uraian Jaksa Agung di dalam requisitoir-nya.

Saya maklum benar-benar, bahwa kedudukan Jaksa Agung dalam perkara saya ini agak sulit.

Bukankah beliau terpaksa membela hal-hal, yang sebenarnya memang salah sedang beliau kemudian harus menyatakan pendapatnya mengenai sesuatu perbuatan yang sebenarnya hanya merupakan suatu akibat yang logis dari apa yang terjadi sebelumnya itu tadi.

Apa yang mengherankan saya, Saudara Ketua, ialah ucapan Saudara Jaksa Agung, bahwa gerakan yang dinamis dianggap oleh beliau tepat sekalipun gerakan itu bertentangan atau melanggar UUD.

Perkataan yang demikian itu agak ganjil oleh karena dikeluarkan oleh pejabat yang tertinggi yang seharusnya menuntut pelanggar-pelanggar Undang-undang, akan tetapi saya mengerti benar-benar kesulitan Saudara Jaksa Agung yang terpaksa bertindak dan memberi pemandangan yang bertentangan dengan keyakinannya juridis.

Saudara Ketua,

Dengan diterimanya UUD baru Jaksa Agung yang lama, yang tak dapat menuntut saya di bawah kekuatan UUD Sementara RIS meletakkan jabatannya dan diganti oleh Jaksa Agung yang sekarang ini. Akan tetapi Jaksa Agung yang sekarang ini pun ternyata tak dapat mengatasi kenyataan, bahwa saya tak berbuat suatu apa yang bertentangan dengan UUD Sementara RIS, yang berlaku pada waktu itu. Dari sebab itu saya dapat mengerti bahwa Jaksa Agung mengemukakan dinamis massa untuk menyatakan kesalahan saya, oleh karena beliau secara juridis tak dapat menyalahkan perbuatan saya.

Apakah kejahatan yang paling besar dalam suatu negara? Kejahatan terhadap perseorangan atau suatu golongan orang-orang (groeps-gemeenschap) ataukah terhadap negara?

Tentu kejahatan terhadap negaralah yang paling besar.

Dari sebab itu, apakah bukan suatu keganjilan (ironi), bahwa satu-satunya menteri yang tidak melanggar sumpahnya atas UUD Sementara RIS dimaki-maki, dicerca, diejek sebagai pengkhianat negara, sedang dari menteri-menteri yang melanggar sumpahnya tak seorang pun yang dihadapkan di muka pengadilan.

Bukankah kita, para menteri dalam kabinet yang pertama dan yang terakhir dari RIS di tangan Presiden Soekarno di Jogja telah bersumpah setia kepada UUD Sementara RIS?

Bukankah kita dengan caranya masing-masing telah bersumpah akan taat kepada UUD tadi sebagai dasar kedaulatan dan ketentuan hukum di dalam negara kita?

Dengan mengemukakan segala sesuatu tadi, sama sekali bukan maksud saya untuk menuntut supaya menteri-menteri yang lainnya itu dituntut pula. Yang saya kehendaki dengan ucapan saya tadi, ialah supaya jangan mengukur dengan dua ukuran.

Saudara Ketua,

Dalam salah satu sidang Jaksa Agung menanyakan kepada saya, apakah saya mempunyai ketentuan, bahwa UUD Sementara RIS memang disetujui oleh rakyat. Atas pertanyaan, yang menurut saya tidak ada perhubungannya dengan perkara ini, saya menjawab dengan pendek, bahwa UUD itu telah di-ratificeer oleh Parlemen dari masing-masing negara bagian, juga oleh RI Jogja.

Saya sebenarnya sekarang dapat pula mengajukan pertanyaan kepada Jaksa Agung, apakah UUD Sementara RI, yang sekarang berlaku, dapat persetujuan dari rakyat. Sebab juga UUD ini tidak ditetapkan oleh Perwakilan Rakyat yang dipilih secara bebas dan secara rahasia.

Jika saya tidak salah rumus UUD itu diajukan kepada parlemen untuk ditetap­kan dengan tidak diperkenankan kepada parlemen menggunakan hak amandemen.

Saudara Ketua,

Meskipun pembelaan juridis akan saya serahkan kepada pembela saya, akan tetapi serenta mendengar hukuman yang dimintakan oleh Jaksa Agung, teringatlah saya kepada hukuman-hukumanyang dijatuhkan di dalam perkara peristiwa 3 Juli 1946.

Apabila saya dianggap salah, apakah kesalahan saya lebih besar daripada kesalahan para terdakwa dalam peristiwa 3 Juli 1946 itu.

Di dalam perkara saya belum dan pula tak akan terjadi apa-apa. Dalam peris­tiwa 3 Juli 1946 para terdakwa telah nyata-nyata melakukan perbuatan untuk merobohkan Pemerintahan RI. Dan apabila kita mengingat, bahwa waktu itu RI sebagai pusat perjuangan sedang menghadapi musuh dan oleh karenanya perbuatan itu benar-benar dapat membahayakan perjuangan, maka menurut saya tak ada kesangsianlah kejahatan mana yang lebih berat.

Menurut pendapat saya perbuatan para terdakwa dalam peristiwa 3 Juli 1946 jauh lebih berat daripada perbuatan saya. Akan tetapi di dalam perkara itu, kepa­da hoofddaders hanya dijatuhi hukuman empat tahun penjara dengan dipotong waktu dalam tahanan.

Saudara Ketua,

Bukan maksud saya untuk mengatakan, bahwa mereka itu harus dihukum lebih berat akan tetapi yang saya kehendaki ialah janganlah diadakan diskriminasi.

Saudara Ketua,

Meskipun mungkin tidak ada hubungannya yang langsung dengan perkara saya ini, akan tetapi saya rasa ada perlunya pula untuk mengemukakan di sini suatu hal yang mengenai diri saya yang agak aneh dan yang mengherankan saya. Yang saya maksud, ialah putusan Menteri Dalam Negeri 2 September 1952 No. Pem. 66/25/6, menurut putusan mana saya diberhentikan dari kedudukan saya sebagai Wakil Kepala Swapraja Pontianak.

Yang agak aneh dalam keputusan ini ialah:

(1e). Pelepasan dilakukan dengan terugwerkende kracht, ialah mulai tanggal 5 April 1950.

(2e). Putusan ini diambil pada tanggal 2 September 1952, akan tetapi baru dikirimkan kepada saya pada tanggal 2 Januari 1953, jadi sebentar sebelum perkara ini diperiksa oleh Mahkamah Agung.

(3e).Putusan ini hingga kini belum pernah diumumkan.

Mengenai soal apakah Menteri Dalam Negeri berkuasa melepas Kepala Swapraja, tak akan saya bicarakan di sini.

Alasan pelepasan bagi saya tidak jelas. Di dalam putusan tadi disebut, “berhubung dengan kejadian-kejadian yang oleh karenanya harus diberhentikan dari kedudukannya sebagai Wakil Kepala Swapraja Pontianak”.

Timbul pertanyaan sekarang: Apakah pemberhentian ini berhubung dengan perkara saya yang sekarang diperiksa oleh Mahkamah Agung ini?

Jika demikian pemerintah telah mendahului keputusan pengadilan.

Jika mengenai pegawai biasa, yang lazimnya pegawai yang tersangkut perkara “dischorst” lebih dulu atau dilepas dengan mempertangguhkan julukan “dengan hormat” atau “tidak dengan hormat” sampai ada keputusan pengadilan. Apabila oleh pengadilan dianggap salah, pegawai itu dilepas tidak dengan hormat dan penglepasan mulai dengan harinya ia “dischorst”.

Tidak demikian perlakuan terhadap saya. Wakil Kepala Swapraja rupanya kurang hak-haknya daripada pegawai biasa, atau dipandang sama sekali tidak mempunyai hak sesuatu apapun juga. Dengan tidak menunggu keputusan peng­adilan saya dilepas begitu saja dengan “terugwerkendekracht” sedang saya tidak pernah “dischorst”. Mungkinkah ini?

Apakah gerangan yang menyebabkan pemerintah di dalam perlakuannya terha­dap saya melupakan dasar-dasar negara sebagai negara hukum yang berpangkal kepada Pancasila?

Manakah kebijaksanaan? Manakah keadilan?

Apakah sebabnya putusan itu baru diterimakan kepada saya sebentar sebelum perkara saya diperiksa oleh pengadilan?

Apakah sebabnya putusan itu hingga sekarang belum juga diumumkan?

Atas pertanyaan-pertanyaan ini inginlah saya mengetahui jawabannya.

Saudara Ketua,

Sekianlah saya mengenai pemberhentian saya sebagai Wakil Kepala Swapraja.

Sebelum mengakhiri pembelaan saya pada tempatnyalah, apabila saya di sini mengucapkan banyak-banyak terima kasih atas perlakuan diri saya dari pihak Jaksa Agung selama tiga tahun saya dalam tahanan.

Apa yang dimungkinkan oleh peraturan-peraturan untuk meringankan nasib saya selama itu telah dikerjakan oleh Jaksa Agung dengan stafnya.

Saudara Ketua,

Saya akhiri pembelaan saya dengan menyatakan, bahwa saya tetap merasa berbahagia sebagai putera Indonesia, yang telah mendapat kehormatan sebesar-besarnya untuk dapat turut serta di dalam perjuangan mencapai kemerdekaan bagi nusa dan bangsa.

Bagaimanapun bunyinya putusan Mahkamah Agung nanti, apakah saya akan bebas ataupun akan dijatuhi hukuman, tenaga saya tetap saya sediakan, apabila kelak negara membutuhkannya.

Saudara Ketua,

Dengan uraian-uraian di atas, nasib saya sekarang saya serahkan kepada Mahkamah Agung dengan penuh kepercayaan.



Terima kasih!

Jakarta, 25 Maret 1953.
Sultan Hamid II





Source :
www.lenteratimur.com

ANTAR DUA DUNIA - FILM LOKAL KOTA SINGKAWANG

   Setelah memproduksi Film Senja Di Pulau Simping, Kali ini Metta Video Studio merilis kembali film terbaru mereka yang bertajuk " Antar Dua Dunia " yang di sutradari oleh Mr.Lo Abidin alias Ucok. Film ini mengisahkan tentang ironi dua sisi kehidupan dan dikemas dalam nuansa berbeda.

  Film lokal karya anak kota Singkawang, Kalimantan Barat ini perlu kita apresiasi agar dikemudian hari mereka lebih antusias dan bersemangat dalam melahirkan karya-karya yang jauh lebih baik lagi dan tentunya bermanfaat untuk kemajuan industri film lokal di kota Singkawang.

 Film Antar Dua Dunia bisa anda saksikan mulai tanggal 16 Februari 2013 sampai dengan tanggal 24 Februari 2013 pada pukul 19.00 WIB di Gedung Bioskop Studio 21 , Jln.Jalan Yos Sudarso. Kota Singkawang , Kalimantan Barat. Dengan harga tiket Rp.20.000 / Orang

 Ok deh, tanpa basa basi .. Langsung aja kita lihat trailer film Antar Dua Dunia melalui youtube

LAGU KEBANGSAAN KALIMANTAN BORNEO MULAI MENYEBAR DI DUNIA MAYA

 Ketika saya berselancar didunia maya, saya sedikit terkejut sesaat menemukan salah satu Page Facebook yang beralamat di 1BORNEO memposting tentang "Instrumen Proposal Lagu Kebangsaan Kalimantan Borneo".

 Berikut kutipannya ; 

"
Instrumen proposal lagu kebangsaan Kalimantan Borneo dalam format mp3 sudah tersedia untuk di-download! Lagu ini bisa dinyanyikan dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Melayu/Indonesia. Dipersilahkan jika ada yang berminat menerjemahkannya ke dalam bahasa lain seperti Bahasa Banjar, Iban, Kadazan, Kutai, Ngaju, Kedayan, Tidung, Mandarin, Hakka, dll. Lagu ini tidak panjang dan tidak sulit dihapalkan Tapi meskipun singkat, lagu ini mengandung makna yang cukup padat. Semoga cita-cita kita mewujudkan negara Kalimantan Borneo yang bahagia bisa segera terwujud! "


English original lyrics:


PEOPLE ARE HAPPY TOGETHER

Kalimantan Borneo
Our proudest and beloved country
Fellow men and women, let us come together
We arise, stand, and unite as one

Let's progress and become successful together
Always staying independent
All of people make peace, our nation prospers
People are happy together

Lirik dalam Bahasa Melayu/Indonesia:

RAKYAT BAHAGIA BERSAMA

Kalimantan Borneo
Negara kita yang tercinta
Pemuda pemudi semua marilah
Bangkitlah bersatu semua

Marilah bersama serta maju jaya
Merdeka sepanjang masa
Berdamai semua, bangsa sentosa
Rakyat bahagia bersama


Berikut adalah Link Video lagu Kebangsaan Kalimantan Borneo di Youtube
 Klik DISINI


Bagaimana tanggapan kalian tentang hal ini ?
Back To Top